dasma riyanti
Kamis, 07 Februari 2013
dasma riyanti: gender menurut perspektif islam
dasma riyanti: gender menurut perspektif islam: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dari sejak hegemoni Barat mulai bercokol di banyak negeri kaum musl...
dasma riyanti: gender menurut perspektif islam
dasma riyanti: gender menurut perspektif islam: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dari sejak hegemoni Barat mulai bercokol di banyak negeri kaum musl...
dasma riyanti: gender menurut perspektif islam
dasma riyanti: gender menurut perspektif islam: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dari sejak hegemoni Barat mulai bercokol di banyak negeri kaum musl...
gender menurut perspektif islam
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dari sejak
hegemoni Barat mulai bercokol di banyak negeri kaum muslimin, seiring
melemahnya kekuatan mereka, sedikit demi sedikit dominasi syariat dan
hukum-hukum Islam bergeser ke ranah-ranah privat dan hanya diminati oleh
minoritas orang. Produk-produk pemikiran Barat pun sedikit demi sedikit
menyebar di khalayak kaum muslimin. Diantara produk pemikiran Barat yang saat
ini tengah dengan giat disosialisasikan adalah isu kesetaraan gender. Isu yang
menghendaki hancurnya batas-batas pembeda antara dua kelompok manusia (baca:
laki-laki dan perempuan) dalam status sosial dan peran di masyarakat ini
dijajakan oleh para aktivis feminisme yang tidak lain adalah anak turunan
liberalisme; ideologi kebebasan mutlak tanpa tapal batas.
Problem
lemahnya keyakinan dan dangkalnya wawasan keagamaan menjadi pemicu utama yang
menyebabkan ide-ide luar itu dapat dengan mudah masuk ke dalam pemikiran kaum
muslimin tanpa filter yang menyaringnya. Apalagi, budak-budak pemikiran Barat yang
giat menebar ide-ide rusak ini tidak jarang berbicara atas nama pembaharuan
Islam, moderenisasi, dan jargon-jargon lainnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Gender ?
2.
Bagaimana Gender dalam pandangan Fiqih Islam?
3. Bagaimana persamaan kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam al-qur’an?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui makna Studi Islam lebih jelas.
2.
Untuk mengetahui Studi Islam tentang gender dalam perspektif Fiqih Islam.
D.
Manfaat Penulisan
1.
Menghasilkan deskripsi tentang pengertian gender.
2.
Menghasilkan deskripsi studi islam tentang gender dalam pandangan fiqih islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Gender
Secara umum, faham Gender ini adalah sebuah faham yang
berbahaya. Sebab secara filosofis , istilah gender itu telah merubah makna
Gender dari jenis kelamin biologis ke sosial. Membawa nilai-nilai sekular yang
bertentangan dengan budaya dan nilai- nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Bagi kami istilah Gender adalah istilah dengan kandungan nilai dan ideologi
Transnasional, yang mengandung faham anarkis marxisme liberal yang merusak,
dimana ini diperkuat dengan banyaknya pasal – pasal dalam naskah akademik ini
yang mengadopsi dari CEDAW. Seperti misalnya definisi tentang
Diskriminasi.
Memang, dewasa ini paham kesetaraan jender (gender
equality) telah banyak menarik berbagai kalangan Islam untuk mengadopsinya.
Karena kebutuhan terhadap adanya keadilan gender, yang dianggap tidak ada sama
sekali di tengah masyarakat muslim, maka diajukanlah konsep kesetaraan gender
untuk memenuhi dan merealisasikan keadilan dan kesamaan hak dan kewajiban
antara laki-laki dan perempuan. Desakan semacam ini tak jarang berdampak kepada
penafsiran ulang bahkan perombakan total terhadap hukum-hukum Islam yang
menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan dalam tataran domestik maupun
publik.
Hal tersebut cukup meresahkan para ulama dan umat Islam yang
komitmen dengan ajaran-ajaran Islam. Sehingga persoalan paham kesetaraan gender
ini harus direspon secara syari'iah dan ilmiah guna menjadi pedoman umat Islam.
Konsep kesetaraan gender dari segi bahasa, istilah
dan nilai ideology sebenarnya tidak ditemukan padanannya dalam istilah Islami.
Yang ada adalah prinsip almusawah (persamaan) laki-laki dan perempuan dalam
hal-hal berikut:
- Persamaan
dalam hal asal-usul penciptaan manusia sebagaimana firman Allah SWT
Annisa: 1
- Persamaan
dalam hal kemuliaan manusia yang Allah ciptakan dengan segala kelengkapan
rizki-Nya serta potensi ketakwaan kepada Allah, sebagaimana firman Allah
SWT dalam surah Al-Isra: 70 dan Al-Hujurat: 13
- Persamaan
dalam hal kewajiban beramal saleh dan beribadah (menerima taklif) serta
hak pahala yang sama disisi Allah SWT sebagaimana firman Allah SWT dalam
surah Ali Imran: 195, Annisa: 124, Annahl: 97 dan Al-Ahzab: 35
- Persamaan
dalam menerima sanksi jika melanggar aturan hukum Allah dan susila di
dunia sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah: 38, dan An-Nur:
2
- Persamaan
dalam hak amar makruf nahi munkar kepada penguasa dalam kehidupan social
politik keummatan sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Ali Imran: 104
dan 110,At-Taubah: 71
Islam juga mengakui hak-hak perempuan dalam hal kepemilikan
pribadi, sewa-menyewa, jual-beli, dan semua jenis akad muamalah perempuan
diakui dan tidak ada hambatan sedikitpun. Demikian pula dijamin hak-hak mereka
untuk belajar dan mengajarkan ilmunya. Selain dari kelima bentuk persamaan
antara laki-laki dan perempuan tersebut, Al-Qur'an dan Sunnah nabi membedakan
peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan perbedaan
kodrati dan tabiat masing-masing.
B.
Pandangan
Islam Tentang Gender
Al Qur’an memandang sama antara kedudukan laki-laki dan
perempuan. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, kalaupun ada
maka itu adalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan agama
kepada masing-masing jenis kelamin melalui ajaran al qur’an dan as-sunnah.
Sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki
kelebihan atas yang lain, melainkan mereka saling melengkapi.
a.
Prinsip dasar Islam dalam menyikapi
paham kesetaraan gender:
Meyakini bahwa Islam adalah agama keadilan. Konsekuensi adil
adalah mempersamakan dua hal yang memang sama dan sekaligus membedakan dua hal
yang memang berbeda. Artinya proporsional dalam meletakkan dan menilai sesuatu
sesuai haknya masing-masing. Islam bukan agama kesetaraan mutlak yang sering
kali menuntut persamaan antara dua hal yang memang jelas berbeda. Kesetaraan
mutlak seperti ini adalah zalim, artinya tidak proporsional dalam menempatkan
sesuatu pada tempatnya. Al-Qur'an tidak merekomendasikan persamaan mutlak dalam
satu ayatpun melainkan memerintahkan kita untuk berlaku ADIL dan IHSAN (lihat
surah An-Nahl: 90). Oleh karena itu, hukum-hukum syariat berdiri di atas
prinsip keadilan; memberikan porsi yang sama ketika persamaan itu dipandang
adil, dan juga membedakan peran dan tanggung jawab yang berbeda ketika
pembedaan itu dipandang adil. Inilah isyarat dari firman Allah SWT dalam surah
Al-An'am: 115 "dan telah sempurna lah kalimat Tuhanmu yang benar dan adil,
tidak ada yang dapat mengubah kalimat-Nya, dan Dia (Allah) Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui".
b. Prinsip-prinsip syariah dalam
menilai paham kesetaraan gender:
- Perempuan,
ibarat koin uang, adalah satu sisi dari jenis manusia, sedangkan sisi
lainnya adalah laki-laki. Sesuai firman Allah SWT surah An-Najm: 45 dan
An-Nisa: 1. Perempuan adalah saudara kembar dari laki-laki dari segi asal
penciptaan, dan destinasi hidup. Bersama-sama dengan kaum laki-laki
bertanggung jawab untuk memakmurkan bumi-dalam lingkupnya masing-masing-tanpa
ada diskriminasi di antara keduanya dalam aspek agama, tauhid, pahala dan
dosa, hak dan kewajiban bersyariat, sesuai dengan firman Allah SWT surah
An-Nahl: 97, Al-Hujurat: 13, Ali Imran: 95 dll, juga hadis nabi Muhammad
SAW: "Sesungguhnya kaum perempuan adalah saudara kandung/belahan
dari kaum laki-laki" (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)
- Namun
disisi lain, Allah SWT sang Pencipta telah menetapkan hikmah bahwa
laki-laki tidak sama dengan perempuan dari segi struktur tubuh dan
penciptaan, yang berdampak kepada adanya perbedaan di antara keduanya
dalam hal potensi, kemampuan fisik, emosional, dan kehendak. Sesuai firman
Allah SWT surah Ali Imran: 36 "dan laki-laki tidak sama seperti
perempuan", dan Az-Zukhruf: 18 "dan apakah patut (menjadi
anak Allah) orang yang dibesarkan menyenangi perhiasan, sedang dia tidak
mampu memberi alasan yang tegas dan jelas dalam pertengkaran".
Oleh karena adanya perbedaan tersebut, disamping adanya persamaan dalam
hal-hal yang telah disebutkan, maka Allah SWT menetapkan pembedaan di
antara keduanya dalam beberapa hukum syariah, peran dan tanggung jawab
social antara laki-laki dan perempuan, yang bertujuan untuk menyesuaikan
dengan fitrah, tabiat dan kekhasan masing-masing. Allah SWT berfirman,
"Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan (perintah) adalah menjadi
hak-Nya" (Al-A'raf: 54)
- Hukum
keluarga dalam Islam yang bersifat pasti dan tetap, serta peran penting
perempuan (istri) di dalamnya.
- Laki-laki
wajib menafkahi perempuan. Ini sesuai dengan struktur fisiologis laki-laki
yang lebih siap menanggung beban fisik dan pikiran pekerjaan untuk
menafkahi keluarganya.
- Hubungan
laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Islam dan di dalam keluarga
berdasarkan asas saling melengkapi (takamul) dari masing-masing
peran yang diembannya. Sungguh tidak adil jika kita menyerahkan
beban-beban laki-laki (mencari nafkah dll) kepada perempuan, atau
sebaliknya (kewajiban hamil dan menyusui anak dll) terhadap laki-laki.
- Syariat
Islam telah memelihara hak-hak perempuan untuk menikah sesuai tuntunan
syariah, hak keibuan, hak pengaturan rumah tangga, hak memilih suami yang
ia ridhai, juga hak untuk memilih tidak lagi hidup bersama suami (khulu';
gugat cerai dari istri) dengan sangat adil dan sempurna.
- Syariat
Islam tentang pentingnya iffah menjaga kehormatan perempuan
dijabarkan dalam beberapa hukum perkawinan, pemberian mahar, haramnya
zina, khalwat dan ikhtilat dengan perempuan bukan muhrim, serta haramnya
melembutkan ucapan di hadapan laki-laki, wajibnya jilbab dan menahan
pandangan, bolehnya poligami dan lain-lain tidak lain adalah untuk menjaga
dan memelihara kehormatan dan kemuliaan perempuan. Itu semua bukan untuk
menzalimi perempuan, seperti yang disangkakan kaum liberal.
Dengan demikian, maka kami memandang hal – hal seperti berikut:
- Selain
mengakui adanya PERSAMAAN antara laki-laki dan perempuan dalam hal
kemanusiaan, kemuliaan, dan hak-hak umum yang terkait langsung dengan
posisinya sebagai hamba Allah SWT, Islam telah MEMBEDAKAN perlakuan
terhadap laki-laki dan perempuan dalam sebagian hak dan kewajiban. Itu
dilakukan sesuai dengan adanya perbedaan naluriah dan alami (nature) di
antara keduanya dalam fungsi, peran dan tanggung jawab. Agar masing-masing
jenis dapat menunaikan tugas-tugas pokoknya dengan sempurna.
- Syariat Islam tegas melarang diskriminasi, penindasan dan kezaliman terhadap perempuan,
sehingga mengakibatkan hak-haknya dikurangi dan kemuliaannya dinodai. Di
dalam Islam tidak ada diskriminasi terhadap perempuan untuk memanjakan
laki-laki. Syariat Islam dalam MEMBEDAKAN antara laki-laki dan
perempuan dalam hal-hal berikut ini, ditetapkan BUKAN karena alasan untuk
menindas atau menzalimi hak perempuan, tetapi berdasarkan hikmah dan
alasan yang kuat di antaranya bahwa hak yang diterima masing-masing itu
harus sesuai dengan beban dan tanggung jawab social ekonominya di tengah
keluarga dan masyarakat. Di antara bentuk PEMBEDAAN ATURAN ISLAM itu
adalah:
- Hak
waris anak laki-laki yang berbeda dari hak waris anak perempuan dengan
formula 2:1. Ini disebabkan adanya tanggung jawab dan kewajiban laki-laki
untuk membayar mahar dan menafkahi keluarganya. (lihat surah An-Nisa: 11
dan 34)
- Persaksian
2 orang perempuan sama dengan persaksian 1 orang laki-laki dalam
persoalan muamalah dan hak. (lihat Al-Baqarah: 282) sementara itu di
dalam persoalan yang terkait dengan kekhususan perempuan seperti hak
menyusui, penetapan keperawanan dan penyakit khusus wanita maka kesaksian
1 orang wanita sudah cukup untuk diterima, sebagaimana dijabarkan dalam
kitab-kitab fiqih Islam.
- Pembayaran
diyat/denda pembunuhan karena korban pembunuhan berkelamin perempuan
setengah dari diyat/denda korban laki-laki. Ini disebabkan karena yang
menerima diyat itu bukanlah mayat korban tersebut melainkan ahli
warisnya. Diyat korban laki-laki lebih besar karena statusnya sebagai
kepala keluarga dan pemberi nafkah, sedangkan diyat korban perempuan
setengahnya karena melihat perempuan itu tidak berstatus pemberi nafkah
keluarga.
- Dalam
rumah tangga, suami (laki-laki) diletakkan sebagai Pemimpin/Kepala
Keluarga yang disebut dengan QAWAMAH (Annisa: 34) sementara istri (perempuan)
ditetapkan sebagai Kepala Rumah Tangga yang disebut dengan Rabbatul
Manzil. Keduanya sama dalam kadar kemuliaannya, hanya berbeda dalam tugas
pokok dan tanggung jawabnya. Ibarat sebuah perusahaan, laki-laki dalam
posisi General Manajer yang berkewajiban mencari nafkah, melindungi,
mengayomi dan mengarahkan kebijakan usaha dan pendidikan anggota
keluarganya. Sedangkan perempuan dalam posisi kepala URT yang mengurusi
hal-hal teknis. Keduanya sama mulia dan penting sesuai porsi yang
ditaklifkan oleh Allah SWT. Intinya konsep QAWAMAH bukan untuk menindas
apalagi mendiskriminasi perempuan sebagai sub-ordinasi atau bawahan,
tetapi mengarahkan kebijakan umum yang harus selaras dengan kondisi
seluk-beluk keluarga yang diketahui dengan baik oleh perempuan sebagai
kepala urusan internal/domestic.
- Dan
lain-lain
- Sehingga
dengan demikian kami melihat bahwa dalam soal hubungan antara laki-laki
dan perempuan, baik PERSAMAAN maupun PEMBEDAAN yang ada aturannya dalam
Islam itu semua berdasarkan WAHYU DARI ALLAH SWT dan bukan hasil
KONSTRUKSI BUDAYA manusia, sehingga ia bersifat lintas zaman dan lintas
budaya. Oleh karena itu definisi tentang Gender adalah "pembedaan
peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil
konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari,
serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari
satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya", seperti termaktub
dalam draf RUU KKG, jelas bertentangan dengan ajaran Islam.
- Menolak
segala bentuk dan model penafsiran ulang yang berdampak pada perombakan
total terhadap hukum-hukum Islam dengan metode historis, sosiologis dan
antropologis (hermeneutika) agar sesuai dengan prinsip keadilan gender.
- Menolak paham kesetaraan gender yang sudah khas dan melekat dengan paham kebencian
dan persaingan antara laki-laki dan perempuan yang berasal dari
Barat, dan apalagi jika dikait-kaitkan dengan ajaran Islam. Jika ditimbang
dari segi maslahat dan mafsadat yang
dibawa oleh paham tersebut, maka mafsadatnya jauh lebih besar, yang sudah pasti diantaranya,
adalah paham tersebut mengancam ketahanan keluarga dan kesejahteraan anak.
Karena paham tersebut telah mengabaikan: 1) peran keluarga sebagai
institusi penting dalam kehidupan manusia, 2) peran keluarga
sebagai pencetak SDM pembangunan dan masyarakat madani, 3)
kepentingan anak sebagai insan generasi penerus kehidupan.
- Menghimbau
para ulama, lembaga Islam dan ormas Islam untuk menghidupkan dan
merevitalisasi kajian fiqih perempuan yang berpijak kepada
Islamic-worldview yang teguh dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw
sebagai sumber hukum tertinggi yang menunjukkan bahwa ISLAM ini adalah
AGAMA WAHYU yang seruan dan cakupannya berlaku UNIVERSAL UNTUK SEMUA
MANUSIA dan HUKUM-HUKUM SUCINYA TIDAK akan mengalami PERUBAHAN atau
PERKEMBANGAN mengikuti sejarah dan budaya manusia.
C.
Persamaan
Kedudukan Laki - Laki Dan Perempuan Dalam Al Qur’an
Islam tidak membedakan antara laki - laki dan perempuan
dalam pengabdian. Perempuan dan laki-laki diciptakan dengan derajat yang sama.
Dalam segi mendapat godaan, bahwa godaan dan rayuan iblis berlaku bagi laki -
laki dan perempuan.
(وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
﴿النساء:١٩
Pergaulilah mereka (istrimu) dengan
baik (An-Nisa’:19)
Potongan ayat 19 surah An-Nisa’ di atas merupakan kaidah robbani yang baku yang ditujukan kepada kaum laki-laki yang di sebut kaum bapak agar berbuat baik kepada kaum wanita/ibu, baik dalam pergaulan domestik (rumah tangga) maupun masyarakat luas. Oleh karena itu, jika ada hadis, meskipun itu statusnya hadis shahih, lebih-lebih lagi itu hadis qawliyah yang substansinya bertentangan dengan kaidah baku tersebut (ta’arud), maka hadis itu perlu di analisa dan dikritik sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu kritik hadis yang berlaku. Analisa seperti ini perlu di lakukan mengingat tidak ada satupun riwayat yang menyatakan bahwa rasulullah saw. Secara prakteknya pernah menghardik, memukul apalagi mengeksploitasi kaum wanita.
Gender merupakan konstruksi sosial, masyarakat sendiri yang membentuk konsep gender tersebut. Gender adalah arti yang di berikan menurut klasifikasi jenis kelamin (biologis) juga merupakan tuntutan dalam masyarakat bagaimana seseorang harus bersikap menurut jenis kelaminnya. Kata kata الجنس yang di artikan sebagai gender sendiri mengalami banyak perdebatan/penolakan di kalangan cendekiawan ataupun ulama’ islam sendiri karena bukan berasal dari akar kata bahasa arab. Dalam islam kita mengenal kata الجنس yang sering di artikan sebagai gender. Kata tersebut sesungguhnya berasal dari bahasa yunani.
Apabila di telaah lebih jauh, perlakuan dan anggapan masyarakat yang merendahkan wanita dan menganggap wanita sebagai masyarakat kelas dua sesungguhnya merupakan pengaruh cultural (kebudayaan) yang berlaku di masyarakat tertentu. Bukan berasal dari ajaran islam. Sebagai contoh adalah kultur atau budaya masyarakat jawa, terutama masyarakat zaman dulu yang menganggap bahwa wanita tidak perlu menuntut ilmu (sekolah) tinggi-tinggi karena nantinya mereka hanya akan kembali ke dapur, walaupun akhirnya seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, anggapan seperti ini mulai pudar namun tidak jarang kebanyakan kaum adam, khususnya dalam pergaulan rumah tangga menganggap secara mutlak bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. juga anggapan bahwa wanita tugasnya 3M (macak, manak, masak) ataupun pandangan bahwa wanita akan ikut menanggung perbuatan suaminya (surga nunut neraka katut). Padahal dalam Alqur’an sendiri dijelaskan bahwa tiap orang menanggung akibat/dosa dari perbuatannya masing-masing dan islam tidak mengenal dosa turunan. Bentukan cultural yang merendahkan wanita ini menyebabkan laki-laki memegang otoritas di segala bidang kehidupan masyarakat (patriarki), baik dalam pergaulan domestic (rumah tangga), pergaulan social ataupun dalam politik.
Ayat Alqur’an surah An-Nisaa’ ayat 34, seringkali di jadikan dalil bagi mereka yang beranggapan bahwa dalam islam, kedudukan laki- laki lebih mulia dari pada wanita. Padahal jika ditelaah lebih dalam, sesungguhnya ayat tersebut sebenarnya memuliakan wanita karena dalam ayat tersebut, tugas mencari nafkah di bebankan kepada laki-laki. Ayat tersebut juga menjelaskan secara implisit bahwa tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan wanita, akan tetapi yang membedakan antara keduanya adalah dari segi fungsionalnya karena kodrat masing-masing.
Allah
berfirman:
“kaum laki-laki
itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu maka
wanita yang saleh ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi
Maha Benar.”(an-Nisa’/4:34)
Dari ayat tersebut, sesungguhnya dapat kita ketahui bahwa keistimewaan laki-laki dari pada wanita salah satunya adalah karena tanggung jawabnya dalam memberi nafkah pada keluarganya. Maka ketika seorang laki-laki tidak menunaikan tanggung jawab sebagai kepala keluarga, maka boleh jadi kedudukannya tidak jauh berbeda
D.
Kesetaraan
dalam Kewajiban Beribadah dan Pahalanya
Secara umum, Islam memandang laki-laki dan wanita dalam
posisi yang sama, tanpa ada perbedaan. Masing-masing adalah ciptaan Allah yang
dibebani dengan tanggungjawab melaksanakan ibadah kepada-Nya, menunaikan
titah-titah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Hampir seluruh syariat
Islam dan hukum-hukumnya berlaku untuk kaum Adam dan kaum Hawa secara seimbang.
Begitu pun dengan janji pahala dan ancaman siksaan. Tidak dibedakan satu dengan
yang lainnya. Masing-masing dari mereka memiliki kewajiban dan hak yang sama
dihadapan Allah sebagai hamba-hamba-Nya. Berikut adalah petikan ayat-ayat al
Qur`an yang menjelaskan tentang pandangan Islam dalam hal ini:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan
tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baikdan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. An-Nahl [16]: 97)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh,
baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu
masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An Nisa [4]: 124)
فَاسْتَجَابَ
لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ
أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ
“Maka
Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku
tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain.” (QS. Ali Imran [3]: 195)
Mujahid
berkata, “Ummu Salamah pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Wahai Rasulullah, kami tidak mendengar penyebutan wanita dalam
masalah hijrah sedikitpun?” maka turunlah ayat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir:
2/190, Tafsir Al Bagawy, 2/153)
E.
Perbedaan
Kodrat
Namun demikian, bukan berarti kaum laki-laki dan wanita
menjadi sama dan setara dalam segala hal. Menyetarakan keduanya dalam semua
peran, kedudukan, status sosial, pekerjaan, jenis kewajiban dan hak sama dengan
melanggar kodrat. Karena, kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa antara
laki-laki dan wanita terdapat perbedaan-perbedaan mendasar, hingga jika kita
melihat keduanya dengan kasat mata sekalipun. Secara biologis dan kemampuan
fisik, laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Begitu pun dari sisi sifat,
pemikiran-akal, kecenderungan, emosi dan potensi masing-masing juga berbeda.
Apalagi wanita dengan tabiatnya melakukan proses reproduksi,
mengandung, melahirkan, menyusui, menstruasi, sementara laki-laki tidak. Adalah
tidak adil jika kita kemudian memaksakan suatu peran yang tidak sesuai dengan
tabiat dan kecenderungan dasar dari masing-masing jenis tersebut.
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid berkata, “Bertolak dari
perbedaan mendasar ini, sejumlah hukum-hukum syariat ditetapkan oleh Allah yang
Mahaadil dengan perbedaan-perbedaan pula. Sebagian hukum, kewajiban, hak dan
peran yang disyariatkan oleh Allah dibedakan sesuai dengan kemampuan
masing-masing dari keduanya tadi. Tujuannya adalah, agar keduanya saling
melengkapi satu sama lain dan dengannya hidup ini dapat berjalan sempurna,
harmonis dan seimbang.” (Lihat Hirâsatu al Fadhîlah, hal. 18-19)
Dari sisi ini pula, Muhammad Aali al Ghamidy dalam sebuah
artikel bertajuk “Muqâranatu al Nadzrah al Takâmuliyyah al Islâmiyyah bayna
al Rajul wa al Mar`ati wa al Nadzrah al Tanâfusiyyah al ‘Almâniyyah”
menjelaskan, bahwa pandangan Islam dalam model hubungan antara laki-laki dan
wanita adalah hubungan saling melengkapi, bukan hubungan
persaingan sebagaimana yang diinginkan oleh konsep sekuler.
Allah
berfirman menghiyakatkan perkataan istri Imran,
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى
“Dan
anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (QS. Ali Imran [3]: 36)
Dari sini, kesetaraan, atau persamaan (dalam bahasa Arab:
musâwâtu) antara laki-laki dan perempuan bukanlah nilai yang berasal dari
pandangan Islam Islam memandang keadilan antara laki-laki dan wanita, bukan
kesetaraan. Konsep kesetaraan bertolak belakang dengan prinsip keadilan. Karena
adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, memberikan hak kepada yang
berhak menerimanya. Sementara (Lihat kritikan Syaikh al Utsaimin tentang kata al
musâwâtu dalam Syarhu al ‘Aqîdah al Wâsithiyyah, hal. 180-181)
F.
Hukum
Syariat antara Laki-laki dan Wanita
Di
antara ketetapan syariat yang Allah khususkan bagi laki-laki adalah soal
kepemimpinan. Allah berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ
اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka.”
(QS. An-Nisa` [4]: 34)
Posisi strategis ini Allah berikan kepada laki-laki karena
ia sesuai dengan tabiat dan kodrat penciptaannya, sebagaimana yang telah
disebutkan. Dalam rumah tangga, laki-laki adalah pemimpin yang bertanggungjawab
menjaga dan memelihara urusan orang-orang yang berada dibawah kepemimpinannya
dari para istri dan anak-anak, termasuk menjamin pakaian, makanan dan rumah
mereka.
Bahkan, tidak hanya urusan-urusan dunia mereka, namun juga
dalam urusan agama mereka. Syaikh Shalih Al Fauzan berkata, “Laki-laki adalah
pemimpin/penanggungjawab bagi wanita, dalam hal agamanya, sebelum dalam hal
pakaian dan makanannya.” (Khuthbah Jum’at, Masjid Amir Mut’ib)
Dengan catatan, kepemimpinan atau kekuasaan seorang
laki-laki atas wanita itu bermakna penjagaan, perhatian dan pengaturan, bukan
dalam arti kesewenang-wenangan, otoritarian dan tekanan.
Begitu pula dalam kepemimpinan pada ranah-ranah publik
seperti jabatan kepala negara, kehakiman, menejerial, atau perwalian seperti
wali nikah dan yang lainnya, semua itu juga hanya diberikan kepada laki-laki
dan tidak kepada wanita.
Dalam ibadah dan ketaatan, laki-laki secara khusus dibebani
kewajiban jihad, shalat jum’at dan berjamah di masjid, disyariatkan bagi mereka
adzan dan iqamah. Syariat juga menetapkan perceraian berada di tangan laki-laki,
dan bagian waris dua bagi laki-laki dan satu untuk wanita.
Adapun hukum-hukum yang khusus untuk kaum wanita juga
banyak. Baik dalam ibadat, muamalat dan lain-lain. Bahkan sebagian para ulama
menulis secara khusus buku-buku yang berkaitan dengan hukum-hukum wanita.
(Lihat Hirâsah al Fadhîlah, hal. 22)
G.
Sikap
Seorang Mukmin dan Mukminah
Syaikh
Bakr bin Abdillah Abu Zaid rahimahullah menyimpulkan, dari
perbedaan-perbedaan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah tersebut, maka ada
tiga sikap yang harus kita ambil:
Pertama, beriman dan menerima
perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan wanita baik secara fisik, psikis, atau
hukum syar’i, serta hendaknya masing-masing merasa ridha dengan kodrat Allah
dan ketetapan-ketetapan hukum-Nya.
Kedua, tidak boleh bagi masing-masing
dari laki-laki atau wanita menginginkan sesuatu yang telah Allah khususkan bagi
salah satunya dalam perbedaan-perbedaan hukum tersebut dan mengembangkan
perasaan iri satu sama lain disebabkan perbedaan-perbedaan tersebut. Oleh
karena itu Allah melarang hal itu dengan firman-Nya,
وَلَا
تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ
نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا
اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena)
bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi
para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah
kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (QS.
An Nisa` [4]: 32)
Tentang sebab turunnya ayat ini, Mujahid menuturkan, “Ummu
Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa laki-laki berperang sementara kami
tidak? Dan mengapa kami hanya mendapatkan setengah dari harta waris? Maka
turunlah ayat ini.” (Diriwayatkan oleh al Thabari, Imam Ahmad, Hakim dan yang
lainnya)
Ketiga, jika al Qur`an dengan jelas
melarang untuk sekedar iri, maka apalagi mengingkari dan menentang
perbedaan-perbedaan syar’i antara laki-laki dan wanita ini dengan cara
memropagandakan isu kesetaraan gender. Hal ini tidak boleh bahkan termasuk
kekufuran. Karena ia merupakan bentuk penentangan terhadap kehendak Allah yang
bersifat kauni yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan
perbedaan-perbedaan tabiat tadi, sekaligus bentuk pengingkaran terhadap
teks-teks syar’i yang bersifat qath’i dalam pembedaan-pembedaan hukum
antara keduanya. (Lihat Hirâsah al Fadhîlah, hal. 22)
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Sehingga dengan demikian kami melihat bahwa dalam soal
hubungan antara laki-laki dan perempuan, baik PERSAMAAN maupun PERBEDAAN yang
ada aturannya dalam Islam itu semua berdasarkan WAHYU DARI ALLAH SWT dan bukan
hasil KONSTRUKSI BUDAYA manusia, sehingga ia bersifat lintas zaman dan lintas
budaya. Oleh karena itu definisi tentang Gender
adalah "pembedaan peran dan
tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial
budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat
dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis
kelamin ke jenis kelamin lainnya", seperti termaktub dalam draf RUU
KKG, jelas bertentangan dengan ajaran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
·
http://situscoplug.blogspot.com/2011/12/html
· http://pusat-makalah-hukum.blogspot.com/
· http://situscoplug.blogspot.com/search/label/Referensi%20Hukum
· http://pusat-makalah-hukum.blogspot.com/
· http://situscoplug.blogspot.com/search/label/Referensi%20Hukum
Langganan:
Postingan (Atom)